Selamat Datang di blog I Made Crisna Dwipayana

Terima kasi telah mengunjungi blog penginoe is dead

Selasa, 09 Agustus 2011

BAB II TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian
Efusi Pleura adalah suatu proses penyakit primer yang jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleura mengandung sejumlah kecil cairan (5 – 20 ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleura bergerak tanpa adanya friksi. (Suzanne & Brenda , 2002)

Efusi Pleura berasal dari dua kata, yaitu efusion yang berarti ektravasasi cairan ke dalam jaringan atau rongga tubuh, sedangkan pleura yang berarti membran tipis yang terdiri dari dua lapisan, yaitu pleura viseralis dan pluera perietalis. Sehingga dapat disimpulkan Efusi Pleura adalah ekstravasasi cairan yang terjadi di antara lapisan viseralis perietalis. (Sudoyo, 2006)

Efusi Pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya penumpukan cairan dalam rongga pleura. (Somantri irman, 2007)

Dari beberapa pernyataan diatas ditarik kesimpulan bahwa Efusi Pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan (5 – 20 ml) di dalam rongga pleura yang cukup untuk membasahi seluruh permukaan pleura parietalis dan
pleura viseralis. Cairan ini dihasilkan oleh kapiler pleura parietalis karena adanya tekanan hidrostatik, tekanan koloid, dan daya tarik elastis. Sebagian cairan ini diserap kembali oleh kapiler paru dan pleura viseralis, sebagian kecil lainnya (10 – 20%) mengalir ke dalam pembuluh limfe sehingga pasase disini mencapai 1 liter sehari.

B. Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya Efusi Pleura menurut Wim de jong, 2005 dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Infeksi
a. Tuberkulosis
b. Pneumonitis
c. Abses paru
d. Perforasi esofagus
e. Abses subfrenik
2. Non infeksi
a. Karsinoma paru
b. Karsinoma pleura
1) Primer
2) Sekunder
c. Gagal hati
d. Gagal ginjal
e. Gagal jantung
f. Kilotoraks
Menurut Somantri, 2007 secara patologis :
1. Meningkatnya tekanan hidrostatik ( misalnya akibat gagal jantung ).
2. Menurunnya tekanan osmotik koloid plasma ( misalnya hipoproteinemia ).
3. Meningkatnya permeabilitas kapiler ( misalnya infeksi bakteri ).
4. Berkurangnya absorbsi limfatik.

C. Patofisiologi
1. Proses perjalanan penyakit
Pada umumnya, Efusi terjadi karena penyakit pleura hampir sama dengan plasma (eksudat) sedangkan yang timbul pada pleura normal merupakan ultrafiltrat plasma (transudat). Efusi dalam hubungannya dengan pleuritis disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pleura parietalis sekunder (efek samping dari) peradangan neoplasma. Efusi Pleura dapat juga disebabkan oleh gagal jantung kongestif. Ketika jantung tidak dapat memompakan darahnya secara maksimal ke seluruh tubuh terjadilah peningkatan hidrostatik pada kapiler yang selanjutnya menyebabkan hipertensi kapiler sistemik. Cairan yang berada dalam pembuluh darah pada area tersebut selanjutnya menjadi bocor dan masuk kedalam pleura. Peningkatan pembentukan cairan dari pleura parietalis karena hipertensi kapiler sistemik dan penurunan reabsorbsi menyebabkan pengumpuulan abnormal cairan pleura. Adanya albuminemia juga akan mengakibatkan terjadinya peningkatan pembentukan cairan pleura dan berkurangnya reabsorbsi. Hal tersebut berdasarkan adanya penurunan pada tekanan onkotik intravaskular (tekanan osmotik yang dilakukan oleh protein). Luas Efusi Pleura dapat mengakibatkan bertambahnya volume paru dan membuat pergerakan dinding dada bertambah berat. Dalam batas pernafasan normal, dinding dada cendrung rekoil keluar sementara paru – paru cendrung untuk rekoil kedalam (paru – paru tidak dapat berkembang secara maksimal melainkan cendrung mengempis).
2. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis menurut Suzanne & Brenda, 2002 yang dapat ditemukan pada Efusi Pleura adalah
a. Demam
b. Menggigil
c. Nyeri dada pleuritis
d. Dispnea
e. Batuk
f. Suara nafas ronchi
3. Komplikasi
a. Edema paru
b. Kolaps paru
c. Gagal nafas
d. Pneumonia
e. Pnumotoraks

D. Penatalaksanaan Medis
1. Terapi
a. Pleuritis tuberkulosa
Pengobatan dengan obat – obat antituberkulosis paru ( Rifampisin, INH, pirazinamid atau etambutol )
b. Efusi Pleura karena neoplasma
Pengobatan dengan kemoterapi dan mengurangi timbulnya cairan dengan pleurodesis memakai zat – zat tetrasuklin.
c. Efusi karena pankreatitis
Pengobatan dengan cara memberikan terapi peritoneosentesis disamping terapi dengan diuretic terapi terhadap penyakit asalnya.
2. Tindakan medis
a. WSD ( water sealed drainage ) merupakan suatu tindakan yang memungkinkan cairan atau udara keluar dari rongga pleura dan mencegah aliran balik ke rongga pleura sisi pemasangan untuk drainage dekat dengan area intracosta kelima atau keenam pada garis midklavikula.
b. Torakosintesis merupakan aspirasi cairan pleura sebagai sarana untuk diagnosis maupun terapeutik. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru – paru di sela iga IX garis aksila posterior dengan memakai jarum abbocath no 14 atau 16. Torakosintesis dilakukan untuk membuang cairan, untuk mendapatkan spesimen guna keperluan analisa, dan untuk menghilangkan dispnea. Namun bila penyebab dasar adalah malignansi, efusi dapat terjadi kembali dalam beberapa hari atau minggu. Torakosintesis berulang mengakibatkan nyeri, penipisan protein dan kadang pneumotoraks.
Tujuan pengobatan adalah untuk menemukan penyebab dasar, untuk mencegah penumpukan kembali cairan, dan untuk menghilangkan ketidaknyamanan serta dispnea. Pengobatan spesifik ditujukkan pada penyebab dasar ( misal: gagal jantung kongestif, pneumonia). ( Suzanne & Brenda, 2002 ).

E. Pengkajian Keperawatan
1. Pengkajian
Menurut Doengoes marlyn E, 2000 data yang perlu dikaji pada pasien dengan Efusi Pleura adalah
a. Pengkajian awal
1) Aktivitas dan istirahat
Gejala : keluhan umum dan kelemahan, nafas pendek karena kerja, kesulitan tidur pada malam hari atau demam malam hari.
Tanda : takikardi, Takipnea atau dispnea pada kerja, kelelahan otot, nyeri dan sesak.
2) Integritas ego
Gejala : adanya faktor stres lama, masalah keluarga, rumah, perasaan tidak berguna atau tidak ada harapan.
3) Makan dan cairan
Gejala : kehilangan nafsu makan, tidak dapat mencerna, penurunan berat badan
Tanda : turgor kulit kering, hilang lemak subkutan.
4) Nyeri atau kenyamanan
Gejala : nyeri pada dada meningkat karena batuk berulang.
Tanda : berhati – hati pada daerah sakit, prilaku distraksi, gelisah.
5) Pernapasan
Gejala : batuk produktif dan non produktif, nafas pendek, riwayat tuberkulosis.
Tanda : peningkatan frekuensi pernafasan, pengembangan dada tidak simetris, penurunan premitus, bunyi nafas menurun, perkusi pendek, sputum hijau, deviasi trakea.
6) Keamanan
Gejala : adanya kondisi penekanan imun
Tanda : demam rendah atau sakit panas akut
7) Interaksi sosial
Gejala : perasaan sosial atau penolakan karena penyakit menular, perubahan pola biasa dalam tanggung jawab atau perubahan peran.
8) Penyuluhan dan pembelajaran
Gejala : riwayat keluarga tuberkulosis, status kesehatan batuk, kambuhnya tuberkulosis, tidak berpartisipasi dalam pengobatan tuberkulosis.
b. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi
Dengan melihat keadaan fisik yang khusus serta kehilangan kondisi yang lemah, pernafasan yang cepat dan dangkal, serta adanya penurunan eksanpasi paru.
2) Auskultasi
Dengan ditemukan atau didengar adanya suara nafas ronchi (+) dan adanya krepitasi.
3) Perkusi
Adanya suara redup balikan pekak di atas Efusi Pleura apabila telah mengenai pleura dan membentuk efusi.
4) Palpasi
Fremitus melemah.
c. Pemeriksaaan penunjang
1) Pemeriksaan diagnostik
a) Rongent dada atau thoraxs
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi dari bagian medial. Bila permukaannya horisontal dari lateral ke medial, pasti terdapat udara dalam rongga tersebut yang dapat berasal dari luar dan dari dalam paru – paru itu sendiri.
b) Torakoskopi (Fiber – optik pleurascopy)
Dilakukan pada kasus – kasus dengan neoplasma atau tuberkulosis pleura. Biasanya dilakukan sedikit insisi pada dindidng dada (dengan resiko kecil terjadinya pneumotoraks) cairan ditemukan penghisapan dan udara dimasukkan supaya dapat melihat kedua pleura.
c) Biopsi pleura
Pemeriksaan histologi atau beberapa contoh jaringan pleura dapat menunjukkan 50% - 75% diagnosa kasus – kasus pluritistuberkulosa dan tumor paru.
d) Ultrasonografi
Untuk menentukan adannya cairan dalam rongga pleura. Pemeriksaan ini sangat membatu sebagai penentu waktu melakkukan aspirasi cairan tersebut, terutama pada efusi yang terlokalisir.
2) Pemeriksaan laboratorium
a) Darah lengkap : Leukosit meningkat, Hemoglobin menurun, LED meningkat
b) Kimia darah : Albumin menurun, protein total menurun
c) Sputum : kultur, basil asam dan PH
d) Sitologi cairan pleura

F. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keerawatan yang muncul pada klien dengan Efusi Pleura adalah
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru ( akumulasi dari udara atau cairan ).
3. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan kemampuan rekoil paru – paru dan gangguan transportasi oksigen
4. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan proses penyakit, intake yang tidak adekuat.
5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan masuknya mikroorganisme sekunder terhadap tindakan invasive: pemasangan Water seal drainage.
6. Resiko perluasan infeksi berhubungan dengan adekuatnya mekanismenya pertahanan diri (pada penyakit infeksi TBC).



G. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan keperawatan dibuat berdasarkan diagnosa keperawatan dengan menetapkan tujuan, kriteria hasil dan menentukan rencana tindakan yang akan dilakukan :
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum.
Tujuan : bersihhan jalan kembali efektif
Kriteria hasil : klien tidak mengeluh sesak nafas, secret encer dan mudah dikeluarkan, ronchi berkurang atau hilang, tanda – tanda vital klien dalam batas normal ( tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi : 60 – 100 x/menit, suhu : 36 – 37 , pernafasan : 16 – 24 x/menit ).
Intervensi :
Intervensi keperawatan :
a. Pantau fungsi pernafasan, contoh : bunyi nafas, kecepatan, irama, dan kedalaman serta penggunaan otot bantu pernafasan.
Rasional : penurunan bunyi nafas dapat menunjukan atelektatis, ronchi, mengi, menunnjukkan akumulasi secret atau ketidakmampuan membersihkan jalan nafas yang dapat menimbulkan penggunaan alat aksesori pernafasan dan meningkatkan kerja pernafasan.
b. Catat kemampuan untuk mengeluarkkan mukosa atau batuk efektif : catat karakter jumlah sputum adanya hemoptisis.
Rasional : pengeluaran sulit bila secret sangat kental, sputum berdarah kental atau darah cerah akibat oleh kerusakan paru.
c. Berikan klien posisi semi fowler, bantu klien untuk batuk dan latihan nafas dalam.
Rasional : posisi semi fowler dapat memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya pernafasan.
d. Pertahankan makanan cairan sedikitnya 2500 ml/hari.
Rasional : pemasukan tinggi cairan membantu untuk mengeluarkan secret, membuatnya mudah dikeluarkan.
e. Kolaborasi pemberian obat agen mukolitik, bronchodilator
Rasional : bronchodilator meningkat ukuran lumen, trakeobronkhial sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran udara agen mukolik menurunkan kekentalan dan perlengketan secret paru untuk memudahkan pembersihan.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru ( akumulasi dari udara atau cairan ).
Tujuan : pola nafas kembali efektif
Kriteria hasil : klien menunjukkan usaha untuk nafas dalam, bernafas tidak menggunakan otot bantu pernafasan, tanda – tanda vital klien dalam batas normal ( tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi : 60 – 100 x/menit, suhu : 36 – 37 , pernafasan : 16 – 24 x/menit).
Intervensi
Tindakan keperawatan :
a. Observasi penggunaan otot – otot bantu pernafasan dan retraksi dada.
Rasional : adanya distress pernafasan dapat dideteksi secara intensif.
b. Pantau tanda – tanda vital terutama frekuensi pernafasan secara periodik (tiap 8 jam).
Rasional : cepatnya frekuensi pernafasan klien menunjukkan pola nafas tidak efektif.
c. Pertahankan posisi semi fowler.
Rasional : meningkatkan ekspansi paru.
d. Bimbing, ajarkan dan anjurkan klien untuk melakukan nafas dalam ( ambil nafas melalui hidung kemudian dikeluarkan secara perlahan melalui mulut ).
Rasional : dengan melakukan nafas dalam akan memaksimalkan pengambilan oksigen dan meningkatkan inspirasi dan ekspirasi agar lebih teratur.
e. Kolaborasi
1) Pemberian oksigen sesuai indikasi.
Rasional : dapat meningkatkan suplai oksigen.
2) Pemeriksaan laboratorium yaitu AGD.
Rasional : beratnya gangguan metabolik dan pernafasan dapat diketahui dengan pemeriksaan AGD.
3) Pemasangan WSD.
Rasional : untuk meningkatkan ekspansi paru.
3. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan kemampuan rekoil paru – paru dan gangguan transportasi oksigen.
Tujuan : klien dapat mempertahankan dan meningkatkan ventilasi dan oksigenisasi yang adekuat.
Kretia hasil : tanda – tanda vital klien dalam batas normal ( tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi : 60 – 100 x/menit, suhu : 36 – 37 , pernafasan : 16 – 24 x/menit ), bunyi paru normal, tidak adanya distress pernafasan, dapat menunjukkan tehnik nafas dalam dan batuk efektif, tidak ada sianosis, kulit hangat.
Intervensi :
Tindakan keperawat :
a. Observasi dispnea, takipnea, menurunya bunyi nafas dan memantau peningkatan upaya pernafasan, terbatasnya ekspansi dinding dada dan kelemahan.
Rasional : penyakit yang mendasari seperti TB paru menyebabkan efek dari pada paru – paru, efek pernafasan dapat dari jaringan seperti dispnea dan sampai distress pernafasan.
b. Observasi adanya perubahan pada tingkat kesadaran, catat sianosis dan perubahan pada warna kulit, termasuk membran mukosa dan kuku.
Rasional : mengetahui adanya sianosis.
c. Tingkatkan tirah baring atau batasi aktivitas dan batasi aktivitas perawatan diri sesuai dengan keperluan.
Rasional : menurunkan komsumsi oksigen atau kebutuhan selama periode penurunan pernafasan dapat menurunkan beratnya gejala.
d. Monitor suhu tubuh bila ada indikasi, melakukan tindakan untuk mengurangi demam dan menggigil, misalnya memberi suhu ruangan yang nyaman dan kompres.
Rasional : demam tinggi akan meningkatkan kebutuhan metabolisme dan konsumsi oksigen dan mengubah oksigenisasi seluler.
e. Kolaborasi
1) Awasi laboratorium AGD
Rasional : penurunan kandungan oksigen atau peningkatan oksigen menunjukkan kebutuhan untuk intervensi atau perubahan program terapi.
2) Pemberian oksigen tambahan sesuai indikasi
Rasional : oksigen adalah alat memperbaiki hipoksia yang dapat terjadi sekunder terhadap penurunan vetilasi atau menurunnya permukaan alveoli paru.
4. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan proses penyakit, intake yang tidak adekuat.
Tujuan : kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Kriteria hasil : berat badan dalam batas normal, serum albumin dalam batas normal, mukosa bibir lembab, konjungtiva ananemis, HB dalm batas normal ( normal pria : 13,5 – 18,0 g/dl, normal wanita : 12 – 16 g/dl ).

Intervensi :
Tindakan keperawatan :
a. Catat status nutrisi klien, turgor kulit, berat badan dan kekurangan berat badan, kemampuan atau ketidakmampuan menelan, riwayat mual dan muntah .
Rasional : berguna dalam mengidentifikasi derajat atau luasnya masalah dan pilihan intervensi yang tepat.
b. Awasi masukan atau pengeluaran dan berat badan secara periodik.
Rasional : berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan.
c. Kaji anoreksia, mual dan muntah.
Rasional : dapat mempengaruhi pilihan diet dan mengidentifikasi area pemecahan masalah untuk meningkatkan pemasukan dan pengeluaran nutrisi.
d. Berikan perawatan mulut perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan keperawatan.
Rasional : menurunkan rasa tidak enak karena sisa sputum atau obat untuk pengobatan respirasi yang merangsang pusat muntah.
e. Anjurkan makan sedikit tapi sering dengan makanan tinggi kalori dan tinggi protein.
Rasional : memaksimalkan masukan nutrisi tanpa kelemahan yang tidak perlu atau kebutuhan energi dari makan – makanan yang banyak dan menurunkan iritasi lambung.
5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan masuknya mikroorganisme sekunder terhadap tindakan invasive: pemasangan water seal drainage.
Tujuan : infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil : tanda – tanda vital klien terutama suhu dalam batas normal ( tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi : 60 – 100 x/menit, suhu : 36 – 37 , pernafasan : 16 – 24 x/menit ), tidak terdapat tanda – tanda infeksi pada daerah pemasangan WSD, kalor, rubor, dolor, tumor, dan fungsioliesa, nilai laboratorium terutama leukosit dalam batas normal ( leukosit normal : 5000 – 10.000 rb/ul ).
Intervensi :
Tindakan keperawatan :
a. Observasi tanda – tanda infeksi pada daerah pemasangan WSD seperti kalor, rubor, dolor, tumor dan funngsiolesa.
Rasional : mengetahui indikator adanya infeksi untuk menentukan tindakan selanjutnya..
b. Monitor tanda – tanda vital terutama suhu tubuh.
Rasional : peningkatan suhu tubuh sebagai indikator adanya infeksi.
c. Ganti balutan dan botol WSD setiap hari dengan tehnik steril
Rasional : mencegah perkembangan mikroorganisme disekitar daerah pemasangann WSD.
d. Anjurkan klien untuk menjaga balutannya agar jangan sampai basah dan kotor.
Rasional : balutan yang basah merupakan media perkembangan mikroorganisme.
e. Observasi sistem kepatenan selang WSD terhadap sumbatan, tertekuk, undulasi, dan produksi cairan pada WSD.
Rasional : memastikan kepatenan WSD.
f. Kolaborasi
1) Pemberian obat antibiotik.
Rasional : pengobatan yang teratur dapat mengurangi resiko perluasan infeksi.
2) Pemeriksaan penunjang seperti laboratorium terutama pemeriksaan hematologi (leukosit).
Rasional : peningkatan leukosit dapat menunjukkan adanya infeksi.
6. Resiko perluasan infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya mekanisme pertahanan diri (pada penyakit infeksi TBC).
Tujuan : perluasan infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil : tanda – tanda vital klien terutama suhu dalam batas normal ( tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi : 60 – 100 x/menit, suhu : 36 – 37 , pernafasan : 16 – 24 x/menit ), nilai laboratorium terutama leukosit dalam batas normal ( leukosit normal : 5000 – 10.000 rb/ul ), tidak terjadi komplikasi dan infeksi berulang.

Intervensi :
Tindakan keperawatan :
a. Monitor tanda – tanda vital terutama suhu tubuh.
Rasional : peningkatan suhu tubuh sebagai indikator adanya infeksi.
b. Pantau nilai laboratorium terutama leukosit.
Rasioanal : peningkatan nilai leukosit dapat menunjukkan adanya infeksi.
c. Anjurkan makan dan minum adekuat jika tidak ada kontraindikasi.
Rasional : gizi yang seimmbang dapat mempercepat proses penyembuhan.
d. Kolaborasi
1) Pemberian obat antibiotik, misal obat anti tuberkulosis pada TBC dan kortikostseroid ( prednisone ).
Rasional : pengobatan yang teratur dapat mengurangi resiko perluasan infeksi dan mempercepat proses penyembuhan.
2) Pemeriksaan penunjang seperti laboratorium terutama pemeriksaan hematologi dan rontgen.
Rasional : peningkatan leukosit dapat menunnjukkan adanya infeksi. Hasil rontgen menunjukkan perkembangan proses peradangan pada paru – paru

H. Pelaksanaan Keperawatan
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan dalam melakukan asuhan keperawatan. Tahap implementasi terdiri dari :
1. Prinsip dalam pelaksanaan dari tiap – tiap masalah atau diagnosa keperawatan yang ada dalam teori disesuaikan dengan prioritas keadaan klien
2. Tahap pelaksanaan terdiri dari :
a. Kognitif adalah suatu keterampilan yang termasuk dalam kemampuan memecahkan masalah, membuat keputusan, berfikir kritis, dan penilaian yang kreatif.
b. Interpersonal adalah suatu yang diperlukan dalam setiap aktifitas perawat yang meliputi keperawatan, konseling, pemberi suport, yang termasuk dalam kemampuan interpersoanal diantaranya adalah prilaku, penguasaan ilmu pengetahuan, ketertarikan oleh penghargaan terhadap budaya klien serta gaya hidup. Perawat akan mempunyai skill yang tinggi dalam hubungan interpersonal jika mereka mempunyai kesadaran dan sensitifitas terhadap yang lain.
c. Technikal adalah suatu kemampuan yang tidak bisa dipisahkan dengan interpersonal skill, seperti manipulasi alat, memberi suntikan, pembiayaan, evaluasi dan reposisi.
3. Tindakan keperawatan
a. Mandiri atau independent adalah suatu tindakan perawat berorientasi pada tim kerja perawat dalam melakukan, menentukan, merencanakan, dan mengevaluasi tindakan terhadap klien.
b. Interdependent atau kolaborasi adalah suatu tindakan yang bersifat kolaboratif dengan tim kesehatan lainnya.
4. Pendokumentasian implementasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, perawat mencatat tindakan tersebut dan respon dari klien menggunakkan format khusus pendokumentasian pada pelaksanaan.

I. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari proses keperawatan dengan cara menilai sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak.
Dalam mengevaluasi, perawat harus memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk memahami respon terhadap intervensi keperawatan, kemampuan menggambarkan kesimpulan tentang tujuan yang dicapai, serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan keperawatan pada kriteria hasil. Evaluasi keperawatan pada asuhan keperawatan Efusi Pleura yaitu :
1. Bersihan jalan nafas kembali efektif
2. Pola nafas kembali efektif
3. Tidak terjadi kerusakan pertukaran gas
4. Tidak terjadi gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan
5. Tidak terjadi resiko tinggi infeksi
6. Tidak terjadi resiko perluasan infeksi

0 komentar:

Posting Komentar